Jumat, 11 Januari 2013


S.M.A.R.T 

Plus dan Minus Generic Brand




            Apa nama tempat menyimpan air panas untuk minum atau tempat menyimpan es? Yap, banyak dari kita yang menjawab Termos. Tapi tahukah bahwa Termos itu berasal dari sebuah nama brand, yaitu Thermos , yang memang berupa produk hotter atau cooler bagi makanan atau minuman. Thermos sendiri memiliki sejarah panjang sejak penemuan "vacuum vlask" oleh Sir James Dewar di Oxford University, yang kemudian pertama kali diproduksi secara komersial di tahun 1904 dengan pendirian Thermos GmbH. Mengingat sejarah panjangnya itulah maka tidak heran kita menyebut produk-produk yang serupa dengan nama termos, dan nama termos pun sudah menjadi generic brand untuk produk-produk serupa di Indonesia.

            Generic brand pada dasarnya adalah penyebutan sebuah produk dengan nama tertentu yang menjadi sebutan umum, nah kadang karena sebuah brand sudah sangat menancap di benak konsumen di suatu area tertentu, maka sebuah brand kadang menjadi generic brand untuk produk tertentu. Selain termos (atau thermos) itu, mungkin sebagian dari kita familiar menyebut AQUA untuk air minum dalam kemasan dan Teh Botol untuk teh dalam kemasan botol. Di masa beberapa tahun lalu di beberapa daerah juga cukup familiar dengan Honda untuk sepeda motor, Indomie / Supermi untuk mie instan, dan Federal untuk sepeda gunung. Ada yang mau nambahin ?Di satu sisi, sebuah brand menjadi generic brand adalah keuntungan karena tingginya awarenesscalon konsumen terhadap brand tersebut. Namun dibalik itu ada ancaman. Pernah minta AQUA ke penjual minuman tapi disodori merk lain ? dan kitapun mau menerimanya. Nah itulah ancamannya, sehingga awaraness saja tidak cukup, awareness harus diamankan hingga level pembelian produk. Sehingga disitulah peran integrasi antara marketing dan sales/distribution dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan calon konsumen, seperti Point of Sales material yang bagus, hingga trade promo yang menarik.

Mengenal Segmen Upper Market

Pasar kelas atas merupakan pasar yang sangat menjanjikan, Nielsen menyebutnya dengan istilah Upper Market. Orang-orang di segmen inilah yang disebut gak ada matinya ! alias relatif tidak terpengaruh terhadap fluktuasi harga kebutuhan pokok. Menurut Nielsen, segmen upper market ini mencapai 1,6% dari populasi Jabodetabek dan 2,3% dari populasi Surabaya. Nah siapa saja yang disebut upper market oleh Nielsen ?


Kriteria Upper Market menurut Nielsen adalah:
  • Household Socio Economic Status/SES (maksimum 4 anggota keluarga) adalah sebesar pengeluaran minimum Rp. 5 juta perbulan, dan SES minimum per orang adalah Rp. 1,25 juta. SES dihitung berdasarkaan pengeluaran rata-rata rumah tangga per bulan untuk belanja rutin, termasuk semua pengeluaran belanja sehari-hari seperti makan, uang sekolah anak, listrik, air, rokok, gaji pembantu, sewa bulanan dan pengeluaran rutin lainnya. Tetapi tidak termasuk arisan, cicilan, kontrak rumah, menonton bioskop, rekreasi, pakaian dan pengeluaran tidak rutin lainnya.
  • Tempat tinggal merupakan bangunan bata/ permanen dengan pagar (kecuali di area real estate yang menisyaratkan tanpa pagar).
  • Tempat tinggal berlokasi di tepi jalan 2 arah (jalan yang bisa dipakai bersimpangan 2 mobil).
  • Harus memiliki : kulkas, kompor gas (minimal 2 burner), AC, dan mobil pribadi.
  • Memiliki minimal 14 dari 28 alat rumah tangga yang lain (menurut daftar).
Nah, sudah tahu kriterianya ? Jadi ini memang segmen yang menarik bagi para marketer.

Definisi Fear Marketing


Apabila anda pengendara sepeda motor, apa alasan anda membeli helm ? Jawabannya bisa beragam, tapi mungkin tidak jauh-jauh dari takut ditangkap polisi atau takut terluka di kepala bila jatuh dari naik motor. Atau apa alasan anda membeli asuransi kebakaran ? Tentu karena takut anda tidak bisa mengganti kerugian bila terjadi kebakaran di properti anda.
Itulah yang disebut dengan Fear Marketing. Memanfaatkan atau menciptakan rasa takut untuk calon konsumen apabila tidak membeli produknya.Fear Marketing biasanya mengambil keuntungan dari ketakutan konsumen akan kehilangan uang, kesehatan, waktu, harta, atau bahkan hidup.
Masih ingat ketika wabah Flu Burung menjadi berita ? Beberapa produk lalu mengkaitkan dirinya dengan kemampuan menangkal virus flu burung itu, misalnya AC LG Neo Plasma Plus. Harapannya tentu saja agar masyarakat memanfaatkan AC tersebut untuk mengatasi ketakutan mereka akan penyebaran virus flu burung.
Atau memanfaatkan ketakutan akan kebersihan toilet umum, maka sekarangpun tersedia antiseptic yang bisa dibawa kemana-mana yang dipakai untuk membersihkan dudukan toilet. Ingat apa nama brandnya ?
Dalam jangka lebih pendek, Fear Marketing juga bisa digunakan untuk mempercepat keputusan pembelian yang ujungnya meningkatkan sales. Pernah baca iklan properti bertuliskan “Beli Minggu Ini, Sebelum Minggu Depan Naik Harga” ? Ketakutan akan kenaikan harga juga bisa memicu pembelian.
Bila anda berniat memanfaatkan Fear Marketing, maka ada beberapa hal yang mesti diperhatikan:
  1. Komunikasikan ketakutan atau resiko yang hendak dihindari oleh konsumen secara elegan, jangan dilakukan dengan elemen yang menjijikkan.
  2. Pastikan bahwa ketakutan itu memang relevan dengan yang dihadapi oleh konsumen.
  3. Solusi/produk yang ada siapkan pun harus mudah dipahami oleh konsumen.
  4. Anda bahkan bisa “menciptakan” ketakutan dengan menggali hal-hal yang sebelumnya tidak begitu diperhatikan oleh konsumen. Misal: Ingat publikasi tentang bahan berbahaya di produk mainan dari Cina ? Hal tersebut mungkin sebelumnya tidak diperhatikan oleh konsumen.
Sekarang, apa saja produk atau brand yang anda ingat menggunakan strategi Fear Marketing ?